10.1 Pengertian
Sebelum UU No 5 Tahun 1999, sebenarnya pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata dan pasal 382 KUH Pidana.
Dengan demikian dari Pasal 382 bis KUHP Pidana terlihat bahwa seseorang dapat dikenakan sanksi pidana atas tindakan “persaingan curang” dan harus memenuhi beberapa kriteria :
- Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang
- Perbuatan persaigan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan, atau perusahaan
- Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut baik perusahaan si pelaku maupun perusahaan lain
- Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khayalak umum
- Akibat dari perbuatan persaingan curang itu menimbulkan kerugian bagi konkurennya dr orang lain yang diuntungkan.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Menurut UU No 5 Tahun 1999, pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan untuk melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Oleh karena itu, persaingan tidak sehat menurut UU No 5, adalah “persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
10.2 Asas dan Tujuan
Kegiatan usaha di Indonesia berasaskan demokrasi ekonomi dengan memeperhatikan keseimbangan antara kepentingan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan tujuannya adalah
- Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
- Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan yang sehat
- Mencegah praktik monopoli atau persaingan tidak sehat
- Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
10.3 Kegiatan yang Dilarang
- Monopoli
Situasi pengadaan barang dagangan tertentu, sekurang- kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok , sehingga harganya dapat dikendalikan.
Menurut UU No 5 Tahun 1999, kriteria :
1. Pelaku ushaa dilarang melakukan penguasaan produksi
2. Pelaku ushaa patut diduga melakukan penguasaan, jika barang yang bersangkutan belum ada substitusinya, mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam pasar yang sama, menguasai leboih dari 50% pangsa pasar
- Monopsoni
Keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli ; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli
- Penguasaan pasar
Adalh proses, cara atau perbuatan menguasai pasar. Oleh karena itu pelaku usaha dilarang melakukan pengusaan pasar baik secara sendiri- sendiri maupun bersama-sama yang bisa mengakibatkan persaingan tidak sehat, seperti menghalangi pelaku lain melakukan kegiatan yang sama, melakukan praktik diskriminasi
- Persengkongkolan
Berkelompot melakukan kecurangan. Beberapa bentuk persengkongkolan yang dilarang undang- undang :
a. Dilarang melakukan persengkongkolan dengan pihak lain yang memunculkan persaingan tidak sehat
b. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikan rahasia perusahaan
c. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi atau mengurangi baik kualitas maupun kuantitas
- Posisi dominan
Suatu keadaan dimana pelakun usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan. Atau ia sebagai pelaku tertinggi diantara pesaingnya. Ciri- cirinya :
a. Menetapkan syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau pelaku lain sebagai pesaing
Yang mengusai pasar, adalah pelaku yang menguasai 50% lebih pangsa pasar, atau dua atau tiga pelaku usaha (kelompok tertentu) menguasai 75% atau lebih pangsa pasar dalam satu jenis produk.
- Jabatan rangkap
Dalam Pasal 26 UU no 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa sesorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi pada perusahaan lain, apbila perusahaan itu : berada dalam pasar yang sama, memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang usaha, secra bersamaan menguasai pangsa pasar
- Pemilikan saham
Berdasarkan pasal 27 UU No 5 Tahun 1999, pelaku dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama atau mendirikan perusahaan yang sama, yang mengakibatkan
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa satu jenis produk
b. Dua atau tiga pelaku, kelompok usaha menguadai lebih dari 75% pangsa satu jenis produk
- Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dan secara tegas dilarang.
10.4 Perjanjian Yang Dilarang
1. Oligopoli
Keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli, maka :
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara bersama – sama melakukan penguasaan produkis dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama – sama dan atau melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dana atau jasa, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
2. Penetapan Harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lainnya untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lainnya, sehingga berakibat :
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap – tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu .
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku .
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain
A. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
B. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat .
10.5 Hal-Hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli
Hal-Hal yang dikecualikan dari undang-undang anti monopoli, antara lain perjanjian-perjanjian yang dikecualikan, perbuatan yang dikecualikan, perjanjian dan perbuatan yang di kecualikan .
1. Perjanjian yang dikecualikan
a. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang.
b. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan.
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan .
e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
2. Perbuatan yang dikecualikan
a. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
b. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
3. Perbuatan dan atau perjanjian yang diperkecualikan
a. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
10.6 Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha;
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
3. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi;
4. Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
5. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tntang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
6. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
7. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang di laporkan oleh masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadiri pelaku usaha, saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
10. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan adminisitratif kepasa pelaku usaha yag melanggar ketentuan undang-undang ini.
10.7 Sanksi
Ketentuan pemberian sanksi terhadap pelanggaran bagi pelaku usaha yang melanggar undang-undang ini dapat dikelompokkan dalam dua kategori, antara lain sanksi administrasi dan sanksi pidana pokok dan tambahan.
1. Sanksi administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaham penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
2. Sanksi pidana pokok dan tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dikemungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua puluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran mengenai penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapar dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH pidana berupa
a. Pencabutan izin usaha;
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun;
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar